Cantik Shalihah - Tadi pagi saya berkesempatan mengisi
sebuah Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh sebuah perguruan tinggi
swasta, diskusi itu masih dalam rangka memperingati Hari Ibu. Saya
selalu senang kalau diajak berdiskusi dengan para dosen dan mahasiswa.
Saya selalu bersemangat. Akan kuat berlama-lama melakukan diskusi;
tanya-jawab dengan para audiens.
Saya membawa makalah "Ketika
Ibu Didiskriminasi dan Dipuji." Panjang lebar saya memaparkan.
Subhanallah, antusiasme para peserta diskusi begitu tinggi. Terbukti ada
banyak peserta yang mengacungkan tangannya untuk bertanya. Saya selalu
berharap bisa menampung semua pertanyaan yang diajukan. Tetapi rupanya
sang moderator punya kebijakan lain, untuk membatasi
pertanyaan-pertanyaan itu.
Nah, di antara salah satu penanya itu
adalah ia yang bernama Bu Nur. Ia seorang ibu rumah tangga, tetapi
semangatnya untuk melanjutkan pendidikan setara S1 terus ia tunaikan. Ia
ternyata gelisah. Lama memendamnya. Saat itu ia bertanya kepada saya,
serta memohon segera jawabannya. Pertanyaannya dilakukan dengan lugas.
Semangatnya berapi-api, begitu menunjukkan bahwa ia sedang gelisah.
Saya merasa memahami apa yang sedang digelisahkan Bu Nur. Ia bertanya;
Apa sebetulnya peringatan Hari Ibu? Apa ada penghargaan untuk para Ibu,
atau perempuan pada umumnya? Seputar ini pertanyaan yang ia lontarkan.
Saya rasa, pertanyaan ini sederhana, tapi tidak mudah untuk dijawab.
Betapa tidak, hari Ibu diperingati setiap tahun, di mana pun, dan oleh
siapa pun di negeri ini. Tetapi mana penghargaan untuk kita, para ibu,
para perempuan?
Agak kaget saya mendengar pertanyaannya yang
disampaikan dengan begitu semangat. Ia juga memaparkan pengalamannya
sendiri, setiap hari harus mengerjakan semua urusan rumah tangga,
mendidik anak, melayani suami, dll, termasuk untuk terus menlanjutkan
pendidikan. Jujur, melelahkan. Ungkapnya dengan polos. Begitulah, saya
yakin pengalaman ini banyak dirasakan oleh para ibu yang lain. Betapa
capek dan lelah mengerjakan semua urusan rumah tangga, mendidik anak,
melayani suami, dll, sampai harus terus melanjutkan pendidikan.
Saya menjawabnya santai tetapi serius. Dengan mantap saya juga mendukung
pandangan Bu Nur, harus ada penghargaan tinggi untuk para Ibu, para
perempuan, dalam apapun bentuknya. Mulai dari yang sederhana, dari
lingkungan keluarga, lembaga-lembaga, pemerintah, dan lainnya. Kita
harus sepakat untuk menghapuskan segala ketidakadilan yang selama ini
menimpa para ibu. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) adalah wujud
ketidakadilan paling nyata dan dekat dengan kita.
Peringatan
hari Ibu adalah momen untuk mengingatkan kembali akan mulianya seorang
Ibu. Ia tidak hanya sebatas peringatan seremonial yang hampa makna. Ibu
sumber kehidupan. Darinyalah kasih sayang berasal. Dialah pemilik rahim
kehidupan. Tempat di mana kita dilahirkan. Peringatan ini menjadi
penanda untuk kita agar dapat memuliakan Ibu sepanjang hari. Dan pada
hakikatnya, hari Ibu tidak hanya berlaku untuk mereka yang sudah menjadi
ibu, tetapi juga berlaku bagi semua perempuan pada umunya. Hari ibu itu
sama dengan hari perempuan.
Makanya yang harus segera
direvolusi adalah mental, cara berpikir, mind set para laki-laki,
terutama ketika memosisikan kedudukan istri. Jangan sampai ada lagi
anggapan bahwa selamanya laki-laki akan lebih mulia dan unggul dari
perempuan. Sudah saatnya para laki-laki dan suami sadar bahwa perempuan
adalah makhluk yang mulia ciptaan Allah. Kedudukannya sama dan setara
dengan laki-laki. Perempuan, sebagaimana laki-laki dianugerahi oleh-Nya
segala karunia dan potensi kehebatan.

0 Response to "Beri Kami Penghargaan"
Post a Comment