INSPIRASI SHALIHAH - Jika ada seseorang yang telah menikah, dan di saat yang sama banyak orang yang mengucapkan selamat, itu artinya bahwa menikah adalah nikmat. Sebagaimana kenikmatan yang lain, menikah harus dinikmati. Nikah ditunaikan bukan karena ikut-ikutan, gengsi, apalagi karena paksaan. Menikah semestinya karena kejujuran dan keterbukaan pikiran dan hati.
Dalam tradisi menikah di Indonesia, pernikahan biasa dirayakan dengan penuh kemeriahan. Menandakan bahwa pernikahan tersebut dipenuhi kebahagiaan. Senyum-senyum bahagia pun menyimpul di setiap sudut bibir undangan yang datang. Senyum-senyum itu pun bertegur sapa dengan mempelai. Sungguh kebahagiaan dan keindahan tiada tara. Semoga kita termasuk orang yang beruntung untuk bisa menimati anugerah pernikahan dan rumah tangga yang dipenuhi keberkahan.
Diawali dengan proses ta'aruf, meminang (khitbah), barulah akad nikah dan resepsinya. Tepatlah jika menikah adalah sebuah proses, bukan buah dari ketergesa-gesaan. Karena menikah itu soal ketapatan, bukan kecepatan. Islam sama sekali tidak mengenal istilah nikah dini atau nikah muda, sebab yang ada adalah nikah tepat pada waktunya.
Pernikahan sebetulnya singkat, ia singkat untuk mengawali sebuah proses membiduk rumah tangga yang panjang dan berliku. Ada sedikitnya dua tradisi jika seseorang telah melangsungkan pernikahan. Suami akan ikut istri atau istri akan ikut suami. Bagi saya kedua pilihan itu tidak ada masalah, jika prinsipnya dipegang teguh. Suami ikut istri semata-mata bukan karena istri lebih mulia daripada suami, begitu pun sebaliknya. Keputusan itu diambil oleh kedua pihak (istri dan suami) berdasarkan musyawarah dan kesepakatan.
Tidak sekali-kali suami membanggakan dirinya, menjadi pihak yang 'mulia' di mana istri harus tunduk memuliakannya tanpa kecuali. Istri layaknya pembantu dan budak suami yang kerjaannya setia dan patuh pada perintah suami. Istri dikekang dan tak berkutik. Ini tidak boleh, itu tidak boleh. Ingat, Islam selalu menuntun ajaran keseimbangan. Istri dan suami, setelah menikah pun, keduanya punya derajat yang sama mulia. Sehingga dengan begitu, segala kejadian yang dialami dalam biduk rumah tangga harus dijalin dengan relasi yang seimbang. Mempertimbangkan masing-masing pendapat istri dan suami.
Karena itulah, saya ingin menegaskan kalau menikah itu pintu awal yang berkah menuju seribu langkah. Seseorang yang telah menikah harus lebih bergairah dan berbahagia. Karena pernikahan itu tasyakkur kebahagiaan. Istri dan suami harus saling membahagiakan. Cepat merespon jika ada ketidakjelasan dan kekakuan. Jalinan komunikasi berjalan secara jujur dan terbuka, tidak ada yang ditutup-tutupi, semuanya dibuka secara vulgar, baik dan buruk dirasakan berdua. Jadi tidak ada tuh istilah 'menyembunyikan' sesuatu dari istri atau suami demi kebaikan. Jangan, jangan begitu. Hindari. Belajarlah untu menjadi istri dan suami yang seterbuka dan sejujur mungkin.
Seharusnya juga, dengan menikah, istri dan suami semakin berbinar wajahnya, bukan karena kepura-puraan, tetapi karena bahagia dan ketulusan. Keduanya semakin kompak, saling mengisi jika di antara masing-masing pasangan punya kekurangan. Keduanya makin produktif, produktif berkarya dan bekerja. Keduanya semakin mandiri, memilih hidup sendiri meskipun di sebuah kontrakan yang kumuh, ketimbang bermewah-mewahan karena harta orang tua. Semakin berjalannya waktu, keduanya semakin bersemangat melangkah, menuju masa depan yang cerah. Sampai nanti dikaruniai buah hati dan hingga menjadi kakek-nenek yang menginspirasi anak-cucunya di kemudian hari.

0 Response to "Menikah, Pintu Menuju Seribu Langkah"
Post a Comment