INSPIRASI SHALIHAH - Inspirasi Pendidikan Berbasis Kesetaraan:
Potret Sekilas tentang KH. Nawawi dan Nyai Hj. Afwah Mumtazah
Potret Sekilas tentang KH. Nawawi dan Nyai Hj. Afwah Mumtazah
Cirebon identik dengan sematan kota wali, tidaklah aneh, mungkin karena salah satu wali Sembilan, Sunan Gunung Jati, wafat dan di makamkan di sini. Yang menarik, Cirebon juga menyandang kota santri, sebab di berbagai sudut kotanya banyak berdiri pondok pesantren. Untuk menyebut beberapa pesantren saja, di antaranya pesantren Buntet, pesantren Babakan-Ciwaringin, pesantren Gedongan, pesantren Arjawinangun, dan lain-lain, termasuk pesantren Kempek.
Pada umumnya, pola pendidikan di pesantren berjalan secara alamiah, dalam arti tradisional mewarisi pola pendidikan para pendahulunya. Buktinya, sistem pendidikan melalui sorogan dan bandungan masih melekat di tubuh pesantren. Ciri khasnya yang lain adalah konsistensinya pada tradisi, terutama pada pengajaran kitab kuning.
Pola pendidikan inilah yang juga diilhami oleh pesantren Kempek. Salah satu dari beberapa pesantren Kempek, diasuh oleh KH. Nawawi dan Nyai Hj. Afwah Mumtazah. Biasanya, pesantren akat lekat dengan tradisi patriarkhis. Indikatornya, mereka mengaji kitab-kitab dengan perspektif laki-laki; Safinah al-Naja fi Maa Yajibu ‘alaa Abdi li Maulaahu, karya Syaikh Salim bin Abdullah bin Samir, ‘Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain, karya Syaikh Nawawi al-Bantani, Qurrah al-Uyun fi al-Nikah al-Syar’i bi Syarh Nazh Ibnu Yanun, karya Abu Muhammad Maulana al-Tihami, al-Muhadzdzab fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi’i karya Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf ibn Abdillah, Adab al-Mu’asyarah bain al-Zaujain li Tashil al-Sa’adah al-Zaujiyyah al-Haqiqiyyah karya Ahmad bin Asymuni, dan lain sebagainya.
Selain juga kedudukan kiai selalu mendominasi istrinya, nyai. Nyai di pesantren tak lebih menjadi ‘the second leader’; tugasnya hanya mendampingi dan menuruti apa kata suami (kiai). Apa yang diperintah dan dilarang mutlak harus dituruti tanpa kecuali. Sebab, katanya, perintah suami adalah segalanya; ridha Allah ada pada ridha suami.
Potensi itulah yang sempat saya yakini menimpa Nyai Hj. Afwah Mumtazah tatkala menikahi KH. Nawawi. Kang Em, begitulah ia disapa orang-orang terdekatnya, dikenal sebagai kiai yang tradisional dan menjaga kehati-hatian. Ia adalah putra tunggal dari al-Maghfurlah KH. Umar Sholeh, salah seorangg kiai kharismatik yang disegani banyak kalangan.
Sementara Nyai Afwah adalah salah seorang mahasiswi, meskipun tumbuh sebagai santriwati pula, tetapi pengalamannya studi di salah satu kampus di Yogyakarta, telah membukakan matanya, bahwa dunia betapa luas dan membebaskan. Oleh karena itu, saya mendapat informasi dari salah satu saudara terdekatnya, awal-awal ketika menikah, Nyai Afwah sempat bersedih, semacam sikap belum ada kesiapan untuk menikah.
Tetapi hal itu tak berlangsung lama dan justru membawa berkah tersendiri. Menikahnya Kang Em dengan Nyai Afwah adalah scenario Allah untuk memajukan pesantren Kempek. Nyai Afwah tumbuh menjadi seorang perempuan aktivis dan getol berorganisasi. Ia juga menjadi ketua salah satu perkumpulan para penghafal al-Qur’an perempuan, selain juga aktif mengusung kesetaraan hak perempuan dan gender.
Diskursus kesetaraan gender bagi masyarakat pesantren di Cirebon, masih begitu resisten dan ketat. Persepsi masyarakat pesantren di Cirebon dan sekitar Kempek terhadap kesetaraan gender masih jauh dari tercerahkan, bahkan tak jarang malah menyudutkan diskursus kesetaraan gender sebagai sebuah ajaran yang-katanya-akan merusak kepribadian para perempuan.
Tetapi saya patut bersyukur, karena Nyai Afwah adalah salah seorang Nyai yang justru gigih terhadap pengarusutamaan kesetaraan gender. Komitmen ini terbangun karena pengalaman dan pergumulannya dengan tokoh-tokoh yang konsen pada kajian kesetaraan gender. Terutama KH. Husein Muhammad, salah seorang kakak iparnya, yang kita kenal sebagai kiai feminis paling gigih dalam menegakkan kesetaraan gender.
Ada dua mainstream di pesantren Kempek ini sesungguhnya, Kang Em yang tradisionalis-konservatif dan Nyai Afwah yang reformis-inklusif. Tetapi syukurlah, berkat kegigihan Nyai Afwah, ia berhasil membujuk, meyakinkan, dan memantapkan suaminya untuk bersama-sama melakukan transformasi, khususnya mengadopsi diskursus kesetaraan gender di pesantren. Pesantren yang memilik spirit keterbukaan dan kesetaraan. Keterbukaan pesantrennya, menarik simpati banyak pihak, berbagai kegiatan seperti seminar, workshop, bahtsul masail, dan kegiatan sejenis yang mengarah pada pendalaman kesetaraan gender sering kali diselenggarakan.
Unik sekali memang, Kang Em tetap menjadi kiai yang istiqomah menjalankan sikap dan amalan-amalan tradisional tanpa harus ikut-ikutan pada trend kiai-kiai pada umumnya. Ia pun tak pernah sedikit pun tertarik dengan segala hal yang berbau pejabat dan partai politik. Pesantrennya terjaga dari hal-hal semacam itu. Kang Em lebih tertarik mendidik santri dan melayani masyarakat kecil, selain bercengkrama dengan keluarganya.
Salah satu kebiasaan Kang Em adalah dengan terbuka menerima siapa saja, masyarakat, yang membutuhkan wejangan, nasihat, atau sekedar teman untuk leyeh-leyeh di teras depan rumah. Hal-hal sederhana itulah yang justru menarik perhatian Kang Em. Selebihnya, hidupnya ia habiskan untuk bolak-balik antara rumah, ruang mengaji santri, dan masjid untuk shalat berjamaah.
Kang Em menjadi sosok kiai yang ulet dan telaten dalam mendidik santri. Ia sanggup mendidik santri satu per satu. Menyelidiki kemampuan dan perkembangan para santri dalam mengaji al-Qur’an dan kitab kuning. Tekadnya hanya satu, agar ia betul-betul merasakan dan meyakinkan jika santri didikannya kelak menjadi manusia yang bertanggung jawab dan penuh perhatian.
Kang Em muda, adalah pemuda yang bisa dikatakan jauh dari kebiasaan santri, jangankan mengaji untuk shalat teratur saja entah. Tetapi karena keistiqomahan dan karomah sang ayah-KH. Umar Sholeh-beliau beranjak tumbuh berkembang menjadi sosok kiai yang alim, paling tidak untuk memahami al-Qur’an dan kitab kuning.
Itulah barang kali potret sederhana pesantren Kempek di bawah asuhan Kang Em dan Nyai Afwah. Pantas menjadi teladan untuk pesantren dan kiai-nyai yang sukses menerapkan pendidikan pesantren berbasis kesetaraan. Kini, pesantrennya makin berkembang pesat, banyak menelurkan para santri mahir dalam memahami kitab kuning dan hafiz-hafizah. Selain juga banyak dikunjungi oleh para pegiat ilmu, di mana pesantrennya dijadikan objek penelitian. Wallahu’alam bis Shawab.
0 Response to "Inspirasi Pendidikan Berbasis Kesetaraan"
Post a Comment