Pertama-tama, selamat hari Ibu. Betapa specialnya hari Ibu, hari ini saya menulis artikel berjudul "Ibu, Didiskriminasi dan Dipuji". Artikel dengan judul tadi dimuat salah satu koran lokal. Sudah bisa dipastikan, bahwa Ibu itu amat mulia. Surga pun ada di bawah telapak kakinya. Ridha Allah, ada para ridha orang tua, terutama Ibu. Salah satu hadits Nabi mengatakan, tentang siapa orang yang harus lebih dulu dihormati, adalah Ibu. Nabi Saw menyebutnya sebanyak tiga kali ketimbang Ayah.
Sungguh, Ibu di mata Islam sangat mulia. Ya, Islam memang memuliakan, apakah umatnya juga demikian? Ini pertanyaan besar dan mendasar yang harus jujur kita jawab. Tentu saja jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Tergantung kepada pengalaman hidup kita sampai hari ini. Tetapi apapun makna Hari Ibu bagi teman-teman, semoga apa yang kita maknai bahwa Ibu itu mulia selaras dengan fakta.
Mari kita simak, pernyataan berikut: “Selama berabad-abad peradaban manusia telah membuat gambaran tentang perempuan dengan cara pandang ambigu dan paradoks. Perempuan dipuja sekaligus direndahkan. Ia dianggap sebagai tubuh yang indah bagai bunga ketika ia mekar, tetapi kemudian dicampakkan begitu saja begitu ia layu. Tubuh perempuan identik dengan daya pesona dan kesenangan seksual. Tetapi dalam waktu yang sama ia dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan materi. Perempuan dipuji sebagai “tiang negara” dan ketika ia ibu, ia dipandang dengan penuh kekaguman: “surga di bawah telapak kaki ibu.” Tetapi pada saat yang lain, ia menjadi makhluk Tuhan kelas dua. Dia terlarang tampil di panggung politik yang ingar-bingar. Ketika di meja makan, ibu setia menunggu bapak dan anak lelaki sampai mereka kenyang. Ketika ia seorang istri, ia harus tunduk sepenuhnya kepada lelaki, suaminya. Ia tak boleh cemberut manakala suami bergairah terhadap tubuhnya, kapan saja, di mana saja dan dengan cara apa saja.”
Pernyataan di atas saya kutip dari buku terbaru KH. Husein Muhammad (2014) yang berjudul, “Mencintai Tuhan, Mencintai Kesetaraan: Inspirasi Islam dan Perempuan.” Buku ini juga ditulis bersama saya, terbit bulan Desember 2014 ini. Merinding hati ini manakala membaca dan merenungkan kembali kandungan makna pernyataan tersebut. Betapa benar, sebagai ibu (perempuan) dipuji, tetapi di saat yang sama mereka didiskriminasi. Perempuan seolah menjadi manusia yang ditakdirkan harus hidup penuh tekanan dan kekerasan.
Bagaimana tidak, katanya Ibu itu manusia yang mulia, tapi kenapa kekerasan demi kekerasan terjadi di mana-mana. Sampai hari ini saya masih gelisah oleh realitas yang sakit dan diskriminatif itu. Para ibu dipuji karena telah mengandung, melahirkan, mendidik, dan segala bentuk keteladanan lainnya untuk kita, anak-anaknya. Sekali lagi, kita pasti akan sepakat, Ibu itu makhluk Allah yang mulia. Surga pun ada di bawah telapak kakinya.
Namun di saat yang sama, para ibu dicaci dan didiskriminasi; dizhalimi. Berapa banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KdRT) terjadi, kasus kekerasan yang dialami para pekerja perempuan di luar negeri, masih banyak para Ibu yang menanggung beban ganda; mengurusi semua pekerjaan rumah tangga dan harus bekerja membantu ekonomi keluarga. Tidak hanya itu, para laki-laki yang menjadi suaminya, malah berselingkuh, berpoligami, menikah siri, dlsj, mengkhianati ikatan suci rumah tangganya.
Para laki-laki dan suami selalu merasa paling hebat, merasa paling unggul, merasa paling pintar dari para perempuan dan istrinya. Katanya, perempuan itu 'teman belakang laki-laki', perempuan hanya pelengkap laki-laki, perempuan akalnya lemah, perempuan hatinya rapuh, perempuan dekat dengan syetan, perempuan itu sumber fitnah, dll. Inilah kesalahan-kesalahan besar yang masih berkembang, padahal Islam tidak pernah punya ajaran demikian.
Kita harus segera mengakhiri akhlak jahiliyah ini. Momen Hari Ibu sudah seharusnya menjadi renungan tersendiri untuk kita bahwa Allah memang tidak pernah mendiskriminasi manusia hanya karena jenis kelaminnya berebeda. Keduanya, perempuan dan laki-laki diciptakan Allah dengan bentuk yang paling paling baik. Keduanya juga dianugerahi akal pikiran dan segala potensi hebat lainnya.
Terakhir, kalau sampai hari ini para ibu (perempuan) kita anggap sebagai sosok yang mulia, tidakkah para ayah (laki-laki) juga ingin menjadi manusia yang mulia? Ibu mulia karena mengurus rumah tangga dan lainnya. Apakah pantas Ayah menjadi mulia, tetapi enggan membantu dan sama-sama bertanggung jawab mengurusi pekerjaan rumah tangga?

0 Response to "Ibu, Dipuji dan Dicaci"
Post a Comment