INSPIRASI SHALIHAH - Kalau sudah menikah, mau makan ada yang masakin, ada yang nyiapin. Kalau badan pegel, ada yang mijitin. Pakaian kotor, ada yang cuciin. Kalau tidur, pasti ada yang bangunin. Kalau mau shalat malam, ada yang bangunin. Kalau laper, kalau haus, ada yang bikinin, ada yang nyediain. Pokoknya hidup jadi ringan, karena semuanya dilayanin.
Ini orang mau menikah atau ngerjain orang. Mau cari istri atau pembantu? Ya kalau maunya pake dilayanin segalanya, cari aja pembantu yang banyak. Nah, dari situlah kita bisa menilai sseseorang; mana menikah yang orientasinya menjadikan istri, dan mana menikah yang orientasinya menjadikan pembantu.
Komitmen itu adanya di niat dan sikap. Niat kita menikah memang karena ibadah, tetapi tidak untuk mempekerjakan istri seperti layaknya pembantu. Lalu sikap seperti apa yang bisa mencerminkan bahwa kemuliaan menikah tidak dinodai dengan sikap mempekerjakan istri sebagai pembantu?
Pertama, ada di cara pandang. Seorang laki-laki/suami yang memandang (memahami) bahwa sepenuhnya perempuan/istri adalah manusia mulia dan terhormat. Karena itu, harusnya, dengan menikah seorang perempuan semakin terhormat, bukan malah dijadikan pembantu. Kedua, memperlakukan perempuan/istri dengan bijak dan seimbang. Bahwa istri itu layaknya suami, punya hak untuk terus mengekplorasi potensi diri.
Kemungkinan besar, tidak akan ada orang yang niat menganggap bahwa istrinya itu pembantu. Tetapi hal itu bisa dilihat dari cara seorang suami memperlakukan istri. Ini akibat dari pemahaman yang keliru. Sejak dulu, katanya, tugas istri ya di rumah, kerjakan semua urusan rumah. Laki-laki/suami sih cari nafkah. Heh, kata siapa? Inilah yang harus segera kita ubah.
Ada dua pilihan. Setelah menikah; ada istri yang memang memilih beraktivitas di dalam rumah secara penuh. Ada istri yang memang juga menerjunkan diri di ruang publik. Kita hormati apapun pilihannya. Beraktivitas di rumah bukan hanya terpaku urusi pekerjaan rumah tangga. Tetapi juga bisa, misalnya, sambil berwirausaha.
Begitu pun bagi istri yang membagi waktunya untuk di dalam dan luar rumah. Bukankah terlampau banyak, seorang istri yang jadi ibu rumah tangga, di saat yang sama juga beraktivitas di ruang publik; menjadi guru, dosen, pengacara, pengusaha, politisi, dan lain sebagainya, dan mereka tetap bisa membina rumah tangga dengan baik.
Jadi yang penting itu menjaga komunikasi dan kepercayaan. Selama komunikasi di antara suami dan istri terjaga, apapun yang terjadi dalam rumah tangga akan bisa dipahami. Keduanya juga saling percaya, untuk saling setia. Cermat dalam membagi tugas. Saling mengingatkan, kuatkan dengan mengistiqomahkan amalan sunah, dan itu semata-mata bahwa yang membuat jalinan rumah tangga sejahtera adalah Allah.
Kalau benar menikah karena ibadah, dan segala hal yang berkaitan dengan urusan rumah tangga bisa dijalanin berdua, itu baru utama. Kalau benar menikah bukan untuk menjadikan istri sebagai pembantu, buktikan bahwa laki-laki/suami mampu membantu meringankan pekerjaan rumah tangga. Rumah tangga yang di dalamnya tumbuh kesadaran, sikap saling membutuhkan, dan kesabaran.

Terima Kasih Informasinya, Jika butuh besi tempa silahkan kujungi web kami:
ReplyDeleteRailing tangga besi tempa
Kursi Taman Besi Tempa