Kepekaan

INSPIRASI SHALIHAH - Saya akan kasih tahu bagaimana para santri di pesantren menjalani hidup sehari-hari. Ya, di pesantren putra maupun putri, semua santri harus bisa hidup sederhana dan mandiri. Hidup jauh dari orang tua dan saudara, membuat para santri harus benar-benar siap, terutama siap mental. Bayangin lho, santri pesantren itu seusia SMP dan SMA, tapi mereka begitu gigih hidup sederhana dan mandiri.
 
Indaaah sekali melihat pemandangan dengan panorama kesederhanaan dan kesederhanaan para santri. Santri putra biasanya pakai sarung dan peci, berbaju lengan panjang untuk keperluan ibadah dan mengaji. Boleh pakai baju pendek dan kaos hanya dalam waktu istirahat. Kalau santri putri, pakai kerudung (jilbab), baju panjang, dan rok atau sarung untuk perempuan.
 
Yang lebih elok dipandang, saat melihat para santri putra maupun putri yang berlalu lalang mencuci pakaian di sungai. Sampai zaman kiwari, masih ada para santri yang lebih memilih mencuci pakaian di sungai. Mungkin anggapan mereka bisa nyuci sambil santai, terutama bagi santri putra bisa sambil renang. Mereka biasanya bergerombol, berduyun-duyun. Hmm, apalagi kalau yang bergerombol dan berduyun-duyunnya itu para santri putri. Hehe. Pesantren memang indah, nggak ada duanya.
 
Para santri putra maupun putri dituntut belajar sederhana dan mandiri; mengelola uang bekal dari orang tua, mengatur waktu belajar di pesantren dan sekolah, memasak, mencuci pakaian, menyapu halaman, dan lainnya. Mereka dibagi per kamar. Per kamar memuat, ada yang 10 orang, 20 orang, mungkin ada pesantren yang santrinya membludak. Tapi para santri tetap senang dan nyaman dengan segala keterbatasan dan kesederhaan. Mereka datang dari berbagai daerah, saling berbagi, saling bercanda, dan lainnya.
 
Para santri dituntut kepekaan. Jika ada yang sakit, mereka saling membantu, untuk misalnya sekedar membelikan makanan dan obat, mengantar periksa ke puskesmas, memijiti, dan ikhtiar menghibur lainnya. Para santri juga bisanya dibagi jadwal piket. Piket menyapu lantai kamar, pelataran komplek pesantren, halaman, dan masjid pesantren. Biar pun sudah ada jadwal, para santri senantiasa peka dengan segala kondisi. Mereka saling membantu, mereka saling mengingatkan.
 
Hari ini mungkin terasa aneh, jika ada perempuan yang belum punya kepakaan sebagaimana dilakukan para santri. Kepekaan melakukan urusan rumah tangga memang bukan hal yang aneh. Tetapi akan menjadi semacam 'keanehan' jika perempuan nggak punya kepekaan ini. Dia akan kesulitan berinteraksi di kehidupan sosial. Akan dibenci. Akan dianggap sebagai seorang perempuan yang tak punya kepekaan tentang hal-hal yang selama ini dilakukan oleh perempuan kebanyakan.
 
Mencontoh kehidupan para santri putra, saya tetap lebih sepakat, siapapun perempuan harus bisa lebih peka. Ini menghindari ketegangan kelak saat berumah tangga. Suami akan kaget kalau ternyata istrinya tidak bisa urus rumah tangga. Nah, bagi perempuan yang belum punya kepekaan urus rumah tangga, sedari sekarang jangan malu untuk belajar. Belajar mencuci pakaian, belajar memasak, belajar menyapu, dan segala jenis pekerjaan rumah lainnya.
 
Di masyarakat yang masih patriarkhi ini masih sangat sulit untuk bisa menerima kehadiran seorang perempuan yang nggak punya kepekaan urus pekerjaan rumah tangga. Bahkan, sering terdengar banyak sindiran pedas yang dialamatkan pada perempuan yang nggak punya kepekaan; "Amit-amit, masa perempuan nggak mau urus rumah tangga!."
 
Sekedar untuk mengubah budaya patriarkhi itu, kita bisa mencontoh para santri putra di pesantren. Ternyata laki-laki juga bisa urus pekerjaan rumah tangga. Yang pernah ngalamin jadi santri, kebiasaan-kebiasaan urus pekerjaan rumah tangganya harus terus dilakukan ya. Jangan cuma dikerjakan saat jadi santri aja. Saat nanti jadi suami pun, jadilah suami yang berkarakter santri, suami yang sederhana dan mandiri, suami yang mau bantu urus rumah tangga.

0 Response to "Kepekaan"

Post a Comment