INSPIRASI SHALIHAH - Sebagaimana laki-laki, perempuan adalah makhluk Allah yang dimuliakan. Perempuan juga dianugerahi penciptaan yang sempurna oleh-Nya, akal pikiran, hati nurani, dan potensi-potensi baik lainnya. Tidak ada ajaran Islam yang menyatakan bahwa kelahiran bayi laki-laki otomatis lebih mulia daripada bayi perempuan. Tidak, tidak ada.
Laki-laki dan perempuan juga punya hak-hak yang sama dan seimbang, misalnya untuk berpendidikan. Berpendidikan itu ajaran Islam yang wajib ditunaikan oleh laki-laki dan perempuan. Berpendidikan formal maupun formal; sekolah, kuliah, mesantren, kursus, atau lain sejenisnya. Laki-laki dan perempuan harus sama-sama hebat, punya kesempatan yang sama terbuka untuk mengakses pendidikan.
Termasuk dalam hal pekerjaan atau karir. Tidak ada satu pun larangan, seorang perempuan untuk bekerja atau berkarir. Saat perempuan masih single maupun telah menikah. Mindset kita tentang pekerjaan atau karir juga tidak boleh simplifikatif. Bekerja atau berkarir bagi laki-laki (suami) maupun perempuan (istri) adalah semata-mata sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan, sarana untuk mengekloprasi potensi diri, dan menghebatkan diri.
Maka dari itu, jika ada seorang perempuan yang sudah menikah kemudian memilih untuk tetap berkarir, apanya yang bermasalah? Sebagaimana, misalnya ada seorang istri yang berpendidikan tinggi, tetapi tetap memilih bekerja di rumah, fokus mendidik anak, dan sejumlah aktivitas lainnya, apa yang bermasalah?
Keduanya pilihan yang harus kita hargai. Baik berkarir di luar maupun menjadi ibu rumah tangga di dalam rumah, ada pilihan yang dijalankan sesuai hati nurani, bukan karena paksaan, apalagi karena merasa hina. Pertama, untuk istri yang memilih berkarir, selama karir tersebut sesuai passion-nya, dijalankan penuh keikhlasan, tanpa harus meninggalkan perannya sebagai istri dan ibu, sungguh tidak ada yang harus dipersoalkan. Bahwa memenuhi kebutuhan ekonomi penting adalah iya, suami dan istri mesti kompak memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.
Kedua, untuk istri yang memilih bekerja penuh di dalam rumah, biarpun pendidikannya tinggi, juga harus dihargai. Berpendidikan semata-mata karena perintah dari Allah, bukan untuk ajang gengsi, gaya-gayaan, atau apalah. Istri memilih menghabiskan kerja di rumah, bukan berarti dia jadi pembantu. Bukan pula suami otomatis lebih mulia daripada istri. Walhasil, berada di mana pun seorang istri, ia tetap mulia. Keduanya, suami dan istri mesti saling menghormati dan mengisi.
Suami itu bukan Tuhan, jadi jangan sampai menuhankan suami. Suami itu manusia biasa yang sama penuh kekurangan, di samping punya kelebihan. Begitu pun dengan istri. Tulisan ini paling tidak saya maksudkan untuk menjawab keresahan banyak teman. Bahwa perempuan memilih berkarir bukan untuk menandingi suami, bukan untuk melupakan peran dan tugasnya sebagai istri dan ibu.
Termasuk misalnya, ada seorang suami yang pendapatannya lebih kecil daripada istri, hal ini bukan untuk menjadi senjata agar istri berhenti berkarir. Sampai-sampai menjadikan alasan 'berkarir' untuk menjust istri sebagai istri yang durhaka gara-gara sibuk di luar. Jangan, jangan begitu.
Ingat urusan rumah tangga itu menjadi urusan suami dan istri. Jadi jangan sampai terjadi, hanya karena istri menolak secara halus atas suami yang diminta membuatkan segelas kopi atau teh, hanya karena gara-gara itu, otomatis perempuan (istri) tersebut menjadi istri yang durhaka dan terlaknat. Pikiran jernih dan hati nurani yang bersih harus dikedepankan. Lagian seharusnya suami bangga, beristrikan perempuan yang sukses berkarir. Asalkan komunikasi dan sikap saling percaya bisa dijaga, rumah tangga yang di dalamnya istri dan suaminya berkarir, justru akan membawa berkah tersendiri. Hindari sikap ingin selalu merasa bersalah dan merendah yang tidak didasarkan prinsip keseimbangan.

0 Response to "Sekali Lagi, Tentang Perempuan Karir"
Post a Comment