Ada Apa dengan Cadar?

INSPIRASI SHALIHAH -  Belakangan ini, saya merasa semakin punya banyak teman yang punya semangat dan kecenderungan untuk bercadar. Mereka ini berdomisili juga beraktivitas di tengah kota. Di tengah kehidupan kota yang penuh persaingan, kemaksiatan dan sejumlah kegersangan lainnya. Makanya, nampak sekali banyak perbedaan dengan kebiasaan dan kecenderungan dengan masyarakat yang berdomisili di pedesaan. Jangan jauh-jauh, di desa di mana saya tinggal, dan di pusat kota, begitu kontras. Saya, justru kagum dengan kehidupan di desa ketimbang dengan mereka yang di kota. Terlebih berkenaan dengan aktivitas keagamaan.

Lalu ada apa dengan cadar? Sejak kecil, saya sendiri tidak begitu hirau dengan cadar. Masa belajar di sekolah maupun di madrasah, sedikit pun tidak pernah membahas-bahas apa itu cadar. Para Muslimah desa, termasuk para siswi madrasah pun mengenakan kerudung yang biasa. Sampai kemudian belajar di pesatren pun, pembicaraan, pengajian dan apa pun aktivitas belajar di pesatren, hampir tidak pernah membahas-bahas cadar.

Baca juga : Suara Perempuan Aurat?

Tetapi belakangan ini, pembicaraan tentang cadar oleh para Muslimah muda atau para ibu, semakin marak. Malah seperti dijadikan cita-cita utama. Seolah-olah, bercadar itu menjadi impian idaman yang paling utama dalam Islam. Memakai cadar dipahami para Muslimah perkotaan sebagai ajaran Islam paling mulia. Sebagai ekpresi Islam paling efektif dalam proses taubat nasuha.

Saya mencium aroma ‘hijrah’ yang sangat menyengat, baik secara langsung maupun di medsos. Manusia siapa sih yang tidak pernah berbuat dosa dan kemaksiatan. Saya pikir, manusia sepandai apa pun pasti pernah berbuat dosa. Dan ini soal hidayah. Orang bisa bicara soal hijrah, tetapi tidak lantas menjadikannya menemukan hakikat hijrah itu sendiri. Hijrah itu bukan hanya sekadar mengenakan pakaian serba panjang dan lebar. Bukan hanya sekadar mengucapkan kata-kata bahasa Arab. Bukan hanya sekadar menebar status-status yang bernuansa agama.

Termasuk juga bukan untuk mengisolasi diri di dalam rumah. Menjauhkan diri dari interaksi dengan masyarakat. Dan melakukan sejumlah aktivitas yang justru terkesan konyol. Makanya, kalau kita mau berhijrah, dalam arti bertaubat, untuk bisa menjadi Muslimah yang baik, cukuplah beribadah semampunya, serajin mungkin. Dan berbuatlah kebaikan, sesering mungkin. Berakhlakul karimah, berusaha untuk bisa menghilangkan berbagai penyakit hati.

Seolah-olah perempuan itu biang fitnah, biang masalah, dan biang keburukan lainnya. Keyakinan yang tumbuh akibat ketundukannya kepada laki-laki, ketidakberdayaannya akan keberadaan suami. Para Muslimah menganggap bahwa merekalah yang selama ini menjadi biang keladi, ketika misalnya ada kasus (maaf) perkosaan. Perempuan itu sangat mudah masuk neraka. Perempuan itu dekat dengan syetan. Dan berbagai anggapan aneh lain sejenisnya. Saya berharap, semoga tidak akan banyak para Muslimah yang punya anggapan seperti ini.

Untuk itu, saya akan mengapresiasi, mendukung siapa pun, apalagi para Muslimah yang hendak menjadi hamba Allah yang lebih baik. Begitu pun ketika misalnya ada perempuan yang punya keinginan untuk bercadar. Tetapi bukan karena alasan yang sudah saya sebutkan di atas. Dalam hidup, apapun menjadi pilihan. Tetapi bukan sekadar upaya instan untuk menutupi berbagai keburukan-keburukan kita. Hijrahlah dengan perlahan, semampunya saja, jangan memaksakan kehendak. Nikmati kehidupan ini. Kehidupan yang penuh warna-warni seperti pelangi.

Posted by Ari Saeful Bahri

Tweet