Sudah menjadi hal yang wajar
jika manusia sering merasa kurang senang, alias merasa kurang bahagia.
Apalagi ketika ia selalu mengukur kebahagiaan pribadi dengan kebahagiaan
orang lain. Wajar tapi kalau kelamaan dan terus-menerus ya kurang ajar.
Hehe. Padahal sering selalu merasa kurang adalah salah satu tanda kita
susah bersyukur dengan apa yang telah Allah anugerahkan. Termasuk juga
selalu mengukur kebahagiaan dengan kebahagiaan orang lain. Padahal
kurang apa Allah kepada kita. Nikmat sehat yang masih kita rasakan ini
saja sudah tak ternilai harganya.
Berkaitan dengan kebahagiaan
dalam rumah tangga, ini juga yang sering terjadi. Saya sering kali
mendapat berbagai macam keluhan seputar rumah tangga, di alam nyata
maupun maya. Seolah-olah rumah tangganya-lah yang selalu didera musibah
dan ujian. Seperti merasa menderita sendiri. Atau mungkin secara tidak
sadar malah menyalahkan Allah.
Oleh karena itu, saya sering kali
berpesan, tidak bijak kita merasa selalu kurang dan apalagi
membanding-bandingkannya dengan kebahagiaan orang lain. Yang paling
mendasar, ini soal cara pandang. Agar sebaiknya meluruskan cara pandang.
Tanpa kekuatan dari Allah, kita hanya manusia lemah. Oleh karena itu,
berniat dan berbuatlah untuk terus menjadi pribadi Muslim-Muslimah yang
lebih baik.
Selain itu, belajar dari kebahagiaan rumah tangga
orang lain, bukan berarti membanding-bandingkannya dengan rumah tangga
yang sedang dijalani oleh kita masing-masing. Bersabarlah, terus
berikhtiar dan bertawakal kepada Allah. Kalau tidak begitu, kita akan
stres, hidup kita selalu gelisah, dan tidak tenang. Bawaannya akan mudah
emosi dan marah-marah. Tidak enak makan, minum, dan segalanya. Semuanya
serba salah.
Secara kasat mata, memang kita akan menilai bahwa
rumah tangga yang punya harta berlimpah, mobil mewah, rumah megah,
dll-nya itulah rumah tangga yang bahagia. Tetapi kalau direnungkan
secara mendalam, tidaklah selalu demikian. Kita sering kali lalai,
terlampau banyak pasangan suami dan istri yang kekayaan duniawinya
melimpah ruah, tetapi jalinan rumah tangganya hancur berantakan. Islam
memang menganjurkan agar umatnya untuk kaya materi, tetapi jangan sampai
tidak diimbangi dengan kaya hati. Teruskan ikhtiar duniawinya, dan juga
utamakan ikhtiar ukhrawinya. Walhasil, kaya atau tidak, bahagia atau
tidak terletak pada mental dan cara pandang kita mendudukkan keberadaan
rumah tangga.
Syukurilah apa yang ada dan sedang dialami, tetapi
di saat yang sama, teruslah berkerasi dan berinovasi agar jalinan rumah
tangganya penuh warna, tidak basi. Rumah tangga yang berwarna dan
bahagia, bukanlah rumah tangga yang tidak pernah dirundung ujian dan
masalah. Karena ujian dan masalah dalam rumah tangga itu merupakan
fitrah. Semua orang yang berumah tangga pasti mengalaminya. Hanya saja
perbedaannya terletak pada cara pandang dan cara mengelola ujian dan
masalah itu.
Kalau cara pandang kita selalu positif (husnudhon)
maka ujian dan masalah yang datang akan dihadapi dan disyukuri, dengan
begitu Allah pun akan memberikan jalan dan solusi. Tak kalah penting
adalah mengelola ujian dan masalah itu dengann bijak. Suami dan istri
harus komitmen dan kompak, jika suatu saat datang ujian dan masalah
secara tiba-tiba, jangan sampai ada yang mudah tersulut emosi dan saling
menyalahkan. Hadapi dan musyawarahkan bersama, baiknya seperti apa.
Maka, raihlah kebahagiaan dalam rumah tangga dengan cara dan kreasimu
sendiri, bukan dengan membandingkannya dengan orang lain. Kebahagiaan
yang hakiki amatlah beragam dan luas. Kita tidak bisa menyeragamkan
makna dan bentuk kebahagiaan. Bahkan, bisa jadi apa yang menurut kita
bahagia, belumm tentu bahagia menurut orang lain. Atau pun sebaliknya,
menurut orang lain bahagia, tidak menurut kita. Semoga kita termasuk
hamba-hamba Allah yang dianugerahi sebuah jalinan rumah tangga dan
bahagia oleh-Nya. Aamiin.
0 Response to "Jangan Menyeragamkan Kebahagiaan"
Post a Comment