Kotekstualisasi Makna Tarawih

INSPIRASI SHALIHAH - Salah satu ibadah ritual yang senantiasa dirindukan dan dikhidmati pada bulan suci ramadhan adalah shalat tarawih. Ia special bukan hanya karena ada di bulan ramadhan, melainkan juga karena menjadi moment tepat untuk berkontemplasi, menenangkan pikiran dan jiwa dari hiruk-pikuk kehidupan setelah seharian berada dalam kondisi menahan lapar, dahaga, dan segala hal yang dapat membatalkannya.
 
Dalam tradisi umat Muslim di Indonesia, shalat tarawih ditunaikan dalam dua opsi; antara 11 atau 23 rakaat, termasuk di dalamnya 3 rakaat shalat witir. Tak seperti hari biasa, selama bulan ramadhan, masjid dan mushala di setiap pelosok kampung maupun kota penuh sesak oleh jamaah, mereka benar-benar tak mau menyia-nyiakan moment shalat tarawih.
 
Jika ditelusuri maknanya, secara bahasa tarawih berasal dari kata bahasa Arab, berbentuk jamak (plural) dari kata tarwihah, yang berarti istirahat untuk menghilangkan kepenatan. Ia juga sepadan dengan kata al-Rahah (rehat), yang bermakna hilangnya keletihan dan kesulitan. Adapun dasar pelaksanaan shalat tarawih dirujuk dari salah satu hadits; “Dari Aisyah bahwa Rasulullah Saw., pada suatu malam (di bulan Ramadhan) mendirikan shalat, lalu datang orang-orang pada berikutnya (ingin shalat bersama beliau). Kemudian datanglah malah ketiga atau keempat dan orang-orang pun sudah berdatangan, namun beliau tidak keluar. Saat pagi datang beliau bersabda: "Aku telah melihat yang kalian lakukan, dan aku tidak keluar karena aku takut sholat itu nantinya diwajibkan kepada kalian". (HR. Muslim).
 
Dari Ritual Menuju Spiritual
Sejatinya shalat tarawih tidak hanya sekedar ritual. Sebagaimana shalat fardhu 5 waktu, shalat tarawih merupakan pelengkap umat Muslim untuk semakin intens menjalin koneksi dengan Allah. Hal inilah yang menjadi titik subtantif bahwa shalat tarawih, yang awalnya ibadah ritual ini, sejatinya berkoneksi lurus dengan kualitas spiritual kita kepada-Nya.
 
Dalam kajian tasawuf (sufisme), ikhtiar dan puncak menuju (mengaktifkan konektivitas) kepada-Nya disebut dengan ma’rifatullah. Ma'rifah sendiri berarti mengenal, mengetahui, dan menghayati berbagai objek ilmu pengetahuan secara rinci dan sistematis. Dengan begitu, ma’rifatullah adalah mengenal, mengetahui, dan mengetahui secara mendalam dan terperinci tentang dzat-dzat Allah. Ia merasakan ketenangan mendalam, kondisi yang menunjukan dirinya melebur dengan Sang Hakikat.
 
Menurut Suhrawardi al-Maqtul, tanda-tanda bagi seseorang yang sudah sampai kepada tingkat ma'rifatullah adalah saat ia menyadari dirinya dalam lima keadaan, yaitu selalu merasa kehilangan oleh Sang Penyebab Kehilangan, yaitu Allah; selalu merasa beruntung oleh Sang Penyebab Keberuntungan, yaitu Allah; selalu merasa mendapatkan anugerah oleh Sang Penyebab Anugerah, yaitu Allah; selalu merasa kesumpekan oleh Sang Penyebab Kesumpekan, yaitu Allah; selalu merasa kelegaan oleh Sang Penyebab Kelegaan, yaitu Allah Swt.
 
Shalat tarawih menjadi tepat jika ditunaikan dengan khusyuk, ia akan menggiring manusia pada suasana yang damai, sejuk, dan membahagiakan. Betapapun bernilai sunah muakkad, shalat tarawih akan membawa seseorang pada nuansa tersendiri untuk semakin mesra dan dekat dengan-Nya.
 
Konteks Sosialnya
Seseorang yang ma’rifatullah tidak berarti tidak peduli dan apalagi memusuhi manusia dan kemanusiaan. Seseorang yang ma’rifatullah mengilhami sifat-sifat-Nya; Maha Penyayang, Pemelihara, dan Pelindung semesta alam. Ucap dan sikapnya senantiasa selaras dengan konteks sosialnya. Ia hidup seperti manusia, untuk terus melakukan dakwah kebaikan yang menuntun dan santun.
 
Iman yang menjadi tolak ukur kemantapan hati manusia kepada-Nya, tidak hanya berdimensi individual, tetapi juga sosial. Karenanya, beriman itu keyakinan sejati kepada-Nya melalui berbagai aktivitas ritual dan sosial. Semakin beriman seseorang kepada-Nya, semakin taatlah ia dalam memakmurkan manusia dan kemanusiaan.
 
Mengutip pandangan Azyumardi Azra (2010) bahwa ketaatan kita berpuasa dari sebelum subuh hingga maghrib, yang awalnya adalah salah satu bentuk kesalehan kita dengan Allah semata (tak ada yang tahu bila kita membatalkan puasa saat kita seorang diri, tetapi semata ketaatan kita pada Allah-lah yang menyebabkan kita tetap berpuasa meski hanya seorang diri), seharusnya kemudian teraktualisasikan dalam keseharian kita di sebelas bulan yang lain hingga bertemu dengan ramadhan berikutnya.
 
Melalui shalat tarawih, kita, umat Muslim, yang tadinya enggan atau jarang ke masjid/mushalla, bertemu dan bersilaturahmi; saling melempar senyum, berjabat tangan, dan lain-lain. Shalat tarawih juga memberikan hikmah kepada manusia, betapa semua manusia di hadapan Allah itu hina, tak mengenal kelas dan status sosial, semuanya tunduk membungkukkan badan dan menempelkan kepala ke tempat sujud.
 
Walhasil, shalat tarawih telah memberikan hikmah bahwa kehidupan sosial ini mesti dijalani dengan ketenangan, keharmonisan, dan kedamaian. Prosesnya memang panjang, meletihkan, dan rentan mengalami ketegangan. Perlu dipahami betapa realitas kehidupan ini demikian beragam dan penuh perbedaan. Asalkan kita mau terus belajar dan menyikapinya dengan kesantunan, sesulit dan seletih apapun menjalani kehidupan, pada akhirnya Allah akan memberikan kelegaan dan kemudahan. Demikian. Wallahua’lam bi al-Shawab.

0 Response to "Kotekstualisasi Makna Tarawih"

Post a Comment