Puasa dan KdRT

INSPIRASI SHALIHAH - Siang ini, saat kembali membuka facebook, saya membaca status salah seorang dosen saya dulu waktu kuliah S1, beliau adalah ibu Naeila Rifatil Muna. Ini isi statusnya: "Malam ini banyak belajar dari obrolan selama di perjalanan dengan seorang ibu, menurutku beliau perempuan 'hebat' meskipun disakiti dan dikhianati oleh suaminya, beliau bisa membuktikan membesarkan keempat anaknya menjadi 'sukses'. Dan kesabarannya tergantikan dengan keberhasilan anak-anaknya, beliau pun setelah pensiun ini mendapatkan hadiah menunaikan ibadah haji dibiayai oleh negara. Subhanallah ... terimakasih Bu Midah untuk nasihat-nasihatnya bagaimana membina keluarga sakinah dan untuk obrolan yang 'indah' di tengah kemacetan." (Maaf ya Bu, saya copas status ibu tapi nggak izin dulu, hehe)
 
Kisah nyata di atas bukan kali ini saja saya dengar. Tetapi untuk sekedar merenungkan kembali peristiwa tragis ini, apalagi bertepatan dengan puasa ramadhan, kisah nyata dalam rumah tangga ini, harus selalu diulas, agar kita terjaga dan waspada dari bahaya kekerasan dalam rumah tangga (KdRT).
 
Dan ini beberapa renungan dan catatan saya terhadap banyaknya kasus KdRT, khususnya sebagaimana kasus KdRT yang diceritakan ibu Naeila.
 
Pertama, terutama untuk kaum muda yang belum atau hendak menikah, kasus ini bisa dijadikan bahan renungan bahwa menikah bukan sekedar ijab kabul di kantor urusan agama (KUA). Lebih dari itu, menikah adalah ikatan suci menghadirkan Tuhan oleh dua jiwa yang berbeda, untuk menggapai kebahagiaan berdasarkan prinsip jujur dan keterbukaan. Bahwa nikah itu bukan soal 'kecepatan', tetapi 'ketepatan'. Keduanya mesti memahami bahwa perempuan maupun laki-laki punya kekurangan dan kelebihan.
 
Kedua, saat perempuan hendak menikah. Mintalah pertanggung jawaban dari laki-laki agar ia berjanji; tidak akan berpoligami, tidak akan jadi suami yang otoriter, dan mengedepankan prinsip dialog setiap saat masalah melanda. Di sinilah pentingnya kita memahami, bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama mulia. Jadi, tak ada yang lebih tinggi, sementara yang lain rendah. Satu di atas, sementara yang lain di bawah. Karena Islam justru mengajarkan keseimbangan dan kesetaraan.
 
Ketiga, perempuan saat sudah menikah pun harus tetap berpendidikan dan bekerja. Berpendidikan bukan semata-mata untuk gelar dan pangkat, melainkan memenuhi perintah Allah bahwa belajar itu sepanjang hayat. Begitu pun dengan bekerja, bahwa betapapun suami sudah bekerja, sang istri juga, ini bukan untuk menyaingi suami atau ingin menguasai rumah tangga. Perempuan yang bekerja, semata-mata sebagai wujud rasa syukur telah diberikan akal pikiran, potensi, dan berbagai kenikmatan lainnya.
 
Keempat, kasus ini menjadi salah satu bukti nyata bahwa perempuan juga bisa hebat dan mandiri. Sebab Allah tidak pernah membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Keduanya dibuat dari 'bahan' yang sama dan diberi potensi yang sama untuk berlomba dalam kebaikan.
 
Kalau coba kita bandingkan dengan kehidupan nyata di masyarakat, yang terjadi masih jauh dari keempat catatan yang telah saya sebutkan. Perempuan yang telah jadi istri, umum terjadi hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Istri diatur-atur tanpa ada kontrol. Sedikit pun istri tidak boleh membantah (mengkritik) apa yang diucapkan dan apa yang diperintahkan suami. Sedikit saja membantah, dianggap telah durhaka pada suami dan diancam dengan neraka jahanam.
 
Para suami, dengan dalih memimpin rumah tangga sering kali melakukan kekerasan terhadap istrinya. Alasannya, karena memukul istri dibolehkan agama. Entah sudah berapa banyak kasus terjadi, seorang suami membentak, menjambak, memukul, menendang, menyiram, dan perilaku keras lainnya kepada istri tanpa belas kasihan. Innalillah. Suami gelap mata dengan ikrar janji saat ijab kabul dulu yang telah diucapkan.
 
Di bulan suci ramadhan ini, mari kita jadikan sebagai bulan muhasabah diri, untuk bisa menahan agar tidak melakukan kekerasan rumah tangga. Puasa, kalau kita jalani dengan sepenuh hati, betul-betul akan mendidik kita menjadi insan yang penuh kasih sayang. Puasa dapat mengontrol potensi untuk melakukan keburukan dan kekerasan. Semoga kita, khususnya laki-laki, diperkenankan Allah menjadi laki-laki yang tidak emosional, tidak mudah marah, peramah, dan mau bermusyawarah. Begitu juga yang baru saja menikah, semoga bahagia selamanya. Yang sudah berumah tangga bertahun lamanya, semoga semakin kokoh. Aamiin.

0 Response to "Puasa dan KdRT"

Post a Comment